Share

Adat Lama Leluhur Suku Bantik

Suku Bantik merupakan salah satu suku di Indonesia yang mendiami tanah Minahasa di Sulawesi Utara. Suku ini termasuk rumpun Austronesia-Proto Malayo-Minahasa dimana penyebarannya sekarang ini mendiami daerah pesisir pantai di Sulawesi Utara. Sebagian sejarahwan asal Minahasa mengklaim bahwa bahasa Bantik berbeda dengan bahasa suku lainnya di Minahasa, namun sebenarnya semua suku di Minahasa menuturkan turunan bahasa Austronesia sehingga tata bahasa banyak yang ditemukan sama atau berubah sedikit karena dialek, sebagai contoh kata kuman yang berarti makan ditemukan sama dengan bahasa-bahasa lain di Minahasa atau kata batu yang ditemukan berubah bunyi menjadi watu pada beberapa suku di Minahasa. Lepas dari semua ini, asal usul semua suku di Minahasa adalah satu leluhur yaitu Toar dan Lumimuut (Dalam bahasa Bantik Toada bo Lrumimuutu) berdasarkan cerita turun-temurun.

Lepas dari bahasa, adapun adat kebiasaan orang Minahasa kuno yang juga sebagian besar sama. Kepercayaan terhadap suara burung, pemujaan kepada leluhur, cara hidup yang berpindah-pindah sampai membentuk perkampungan, bentuk penutup kepala pria dari bulu ayam atau burung, dan lain sebagainya dapat ditemukan persamaannya.
Suku Bantik sebagai salah satu dari etnis Minahasa memiliki adat berdasarkan cara hidup leluhur dan histori-kultural yang menyesuaikan dengan keadaan eksistensinya dari zaman ke zaman. Bermula dari Bulrudu Mahatusu (Etnis lain menyebutnya Wulur Mahatus) lalu menyebar ke berbagai tempat, sampai menetap di pulau Panimbulrang (Yang tenggelam kemudian) yang kemudian menyebar lagi ke beberapa tempat yang berbeda.

Kejadian-kejadian diatas melahirkan adat atau kebiasaan yang kemudian dipertahankan selama berabad-abad lamanya. Pada masa sekarang ini, sebagian besar adat lama sudah tidak dilakukan (Setelah mengenal agama Kristen & Islam), namun beberapa adat masih bertahan hingga sekarang. Adapun adat-adat lama suku Bantik yaitu:

Matambung
Sejarah Matambung adalah tentang mencari sisa-sisa yang tertinggal atau kerabat yang hilang atau terpencar pasca tenggelamnya pulau Panimbulrang yang menjadi tempat tinggal leluhur Bantik kuno. Seiring berjalannya waktu, suku Bantik terdahulu melakukannya untuk mencari penyu di sisiran pantai pulau-pulau sekitar tempat mereka tinggal. Dalam pencarian penyu, suku Bantik sering bertemu suku lainnya sehingga tidak jarang terjadi adu fisik antara suku-suku ini. Oleh karenanya, setiap orang yang melakukan adat Matambung diharuskan memiliki kesaktian yang cukup kuat. Adapun 2 orang tokoh Bantik yang terkenal yang melakukan adat Matambung adalah Tonaa’sa Samolra dan Sahumanang. Seiring perkembangan zaman, adat Matambung ini menghilang dan hingga tidak terlihat lagi.

Matubaga
Matubaga adalah kegiatan mengartikan suara burung. Selain suara burung, gerakan terbang burung di udara juga diperhatikan. Dulunya kegiatan ini dilakukan oleh Lrelrean. Jabatan Lrelrean tidak diangkat oleh masyarakat, namun seorang Lrelrean memang terlahir dengan bakat khusus. Menurut tua-tua adat Bantik, suara burung menjadi penanda kejadian yang akan datang, apakah itu baik atau buruk. Ada beberapa suara burung yang diartikan misalnya burung Yellow-Billed Malkoha (Disebut burung Bantik), burung gagak, burung elang, burung rangkong, dan lain-lain. Matubaga sudah terkenal di era Belanda tinggal di Minahasa. Menurut Graafland (Pendeta di era Belanda), beberapa orang menyebutnya Koko ne Bantik yang ditakuti karena mistisnya. Kegiatan ini memang sudah tidak kental di era sekarang ini, namun sebagian kecil masyarakat masih melakukannya.

Mako Mahisakulru/Mabukuan
Mahisakulru atau Mabukuan adalah adat pergi berperang. Menurut beberapa literatur, suku Bantik adalah suatu suku yang gemar berperang. Terdapat cerita lama turun-temurun yang mengatakan bahwa suku Bantik kalau pergi berperang lebih senang seorang diri. Hal ini menunjukkan atau mungkin merujuk kepada keperkasaan seorang pria Bantik. Adapun terdapat semboyan dalam suku Bantik yaitu Banti’ Taya Mababata, yang artinya Bantik tidak pernah kalah. Semboyan ini sebenarnya merupakan suatu semangat dalam berperang. Pada masyarakat Bantik, biasanya sebelum berperang, para pimpinan seperti Mogandi (Panglima perang) atau pemimpin lainnya akan mengadakan ritual pada suatu tempat yang dikeramatkan untuk memohon petunjuk dari Yopo (Dewa/leluhur) apakah mereka layak untuk pergi atau tidak, atau diantara mereka siapa yang boleh pergi dan yang tidak. Tempat ini dikenal sebagai batu Bantik yang berlokasi di Malalayang sekarang ini (Adapun cerita lama tentang seorang pria yang sebelum berperang pasti pergi ke batu Lramo).

Adat Bantik mengatakan apabila dalam kondisi peperangan seorang pria Bantik tergores sedikit saja di bagian tubuhnya atau sehelai rambutnya putus, maka hal itu sangat memalukan karena dianggap kalah dalam peperangan dan mereka lebih memilih untuk tidak pulang ke kampung halamannya atau lebih terhormat mati di medan laga. Atas kejadian ini, siapa pun yang mendapat luka ketika berperang dianggap gugur dalam peperangan dan seharusnya tidak boleh pulang ke kampungnya. Kalau pun ada yang pulang dan terlihat luka sekecil apapun, maka Mogandi tanpa sepatah kata akan melempar daun woka kering yang disebut Kumunou ke atas atap rumah yang bersangkutan. Hal ini berarti dalam keluarga itu ada yang gugur dalam peperangan—sangat memalukan apabila yang masih hidup dinyatakan sudah gugur.

Selain hal diatas, ada satu adat yang umumnya terdapat pada sebagian besar rumpun Austronesia yaitu ‘potong kepala’. Budaya ini dilakukan ketika berperang atau duel satu lawan satu. Dalam adat Bantik hal ini disebut sebagai Mangalralra timbonang. Umumnya, memotong dan menyimpan kepala lawan adalah sebagai tanda keperkasaan seorang pria. Mangalralra timbonang berakhir pada masa Belanda mengenalkan agama Kristen di Minahasa. Adat berperang sudah tidak dipakai lagi sekarang ini, namun kelihatannya adat ini bertransformasi ke dalam tarian perang suku Bantik yaitu Upasa yang bisa kita jumpai di masa sekarang ini.

Mabenu
Mabenu adalah adat yang berhubungan dengan kematian. Dalam acara-acara pemakaman, beberapa orang tua kampung atau sesepuh akan berkumpul di dekat jenazah dan menyanyikan lagu ‘Benu’. Menurut tradisi, tidak sembarangan orang yang bisa diacarakan seperti ini namun hanya mereka yang semasa hidupnya memiliki jasa-jasa terhadap masyarakat Bantik. Para tua-tua yang menyanyi lagu ini pun tidak boleh sembarangan orang. Tidak ada yang tahu pasti kapan adat ini dimulai, namun menurut cerita rakyat, adat Mabenu ini bermula dari seorang pahlawan yang bernama Benu yang gugur di medan perang dan kematiannya ditangisi ibunya dengan kidung kematian. Tangisan ibu ini sangat menyayat hati orang yang mendengarnya. Kidung kematian ini dalam adat bantik disebut Lrumoro. Sampai saat ini, adat ini masih bertahan di tengah-tengah masyarakat moderen.

Angkumang
Pada zaman dahulu, leluhur Bantik kuno memiliki adat yang cukup unik dalam kehidupan sosial, terutama dalam kehidupan perkawinan. Dulunya, para pria yang ingin menikah harus bersusah-payah untuk mendapatkan istri karena adanya adat bahwa pria harus bekerja kepada calon mertuanya sebelum diperbolehkan memperistri anak calon mertuanya itu. Sang pria harus tinggal di bawah kolong rumah keluarga calon istri (Rumah adat dulu adalah rumah tinggi, sekitar 3-5 meter) dan bekerja kepada ayah si calon istri (Dalam waktu yang cukup lama) untuk membuktikan bahwa dia layak untuk menikah. Terkadang makanan si pria akan dilempar dari atas rumah. Hal ini akan terus berlanjut hingga ayah si calon istri menaruh hati (Berbelas kasih) dan menyetujui perkawinan ini. Setelah perkawinan sudah dilakukan, sang suami akan tinggal serumah dengan keluarga tadi dan mendapat makan dari ayah mertuanya. Inilah yang disebut Angkumang. Tidak mudah untuk mendapat makan, karena sang ayah akan terus memperkerjakan anak mantunya. Setiap hari sang pria harus bangun pagi dan melakukan pekerjaan yang ditunjuk oleh mertuanya. Adat ini sudah tidak berlaku lagi pada masyarakat moderen, namun nilai-nilai sosialnya masih ada.

Mongolra’i
Mongolra’i adalah suatu ritual untuk mengobati orang sakit. Etnis lain menyebut ritual semacam ini sebagai Mangorai. Dalam ritual ini, balrian (Pemimpin agama) akan bertanya dan memohon kepada Yopo (Dewa/leluhur) untuk mengembalikan jiwa seseorang ke dalam tubuhnya. Balrian berbicara semalaman dengan bahasa Bantik yang biasanya tidak dimengerti kaum awam (Kemungkinan bahasa Bantik kuno). Beberapa orang menyakini bahwa jiwa balrian akan pergi mencari dan meminta agar jiwa orang yang sakit dikembalikan. Ritual mongolra’i ini sudah tidak terlihat lagi sejak tahun 1930. Kemungkinan hilangnya ritual ini adalah karena suku Bantik sudah banyak yang menganut agama Kristen.

Mabansalra
Mabansalra adalah kegiatan menangkap ayam hutan. Etnis lain menyebutnya Mawansal. Ayam hutan terkenal sangat lincah sehingga dibutuhkan teknik, strategi, serta keahlian bagi para pemburunya. Setiap orang yang melakukan Mabansalra sudah pasti cerdik atau berpengalaman. Mengingat jumlah ayam hutan yang semakin sedikit, juga seiring perkembangan zaman, kegiatan ini semakin berkurang hingga adat Mabansalra sekarang ini sudah tidak kita temui lagi.

Madandi
Madandi adalah tarian atau nyanyian yang dilakukan oleh beberapa orang dan disertai gerakan dimana para penyanyinya membentuk lingkaran. Tarian ini merupakan warisan asli masyarakat Austronesia yang adalah leluhur masyarakat Bantik, oleh karena itu tarian-tarian semacam ini bisa kita temukan di berbagai penjuru Asia maupun Amerika (Yang dibawa oleh orang Indian). Madandi pada umumnya dilakukan pada hari-hari tertentu misalnya hari sesudah panen. Madandi ini seiring perkembangan zaman telah bertransformasi menjadi tarian Mahamba dimana para penarinya juga menyanyi sambil melakukan seni gerak namun gerakannya sudah sangat bervariasi dan tidak membentuk lingkaran lagi. Pada masa sekarang ini, kita masih bisa menemui adat Madandi ini pada sebagian kecil masyarakat Bantik. Umumnya, generasi muda lebih mengenal tarian Mahamba.

Poposaden
Poposaden (Poposadeng dalam dialek Bantik Minanga) adalah budaya bekeja sama dalam bekerja. Pada etnis Minahasa lainnya dikenal sebagai Mapalus. Budaya ini secara umum dikenal di Indonesia sebagai gotong royong (Bahasa Jawa). Poposaden pada masyarakat Bantik kuno umumnya sama dengan gotong royong pada suku-suku lainnya seperti bekerja sama membangun rumah, budaya membuka ladang, dan lain sebagainya. Budaya seperti ini sudah ada sejak lama bahkan sudah ada pada leluhur orang Indonesia yakni bangsa Austronesia sehingga budaya ini termasuk dalam kategori salah satu budaya tertua, tidak terkecuali pada suku Bantik. Poposaden telah menjadi bagian dari kehidupan sosial masyarakat, sehingga budaya ini sampai sekarang masih bertahan.