Share

Jejak Keraton di Bumi Nyiur Melambai

<b>Jejak Keraton di Bumi Nyiur Melambai</b>

Gapura Makam Sekar Kedhaton

Jika kita kebetulan melintasi jalan Diponegoro di kota Manado, tepatnya berseberangan dengan pintu masuk kantor Balai Riset dan Standarisasi Industri Manado, kita akan melihat sebuah kompleks pekuburan dengan sebuah gapura yang bertuliskan “TEMPAT PEMAKAMAN PERMAISURI SRI SULTAN HB V KANJENG RATU SEKAR KEDATON WAFAT 25 MEI 1918” ini tentunya cukup menarik perhatian. Seperti kita semua ketahui bersama bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono merupakan pemimpin Kesultanan Yogyakarta yang tentu wilayah kekuasaannya jauh dari bumi nyiur melambai. Namun apapun yang terjadi di masa lampau, itu akan menjadi sebuah sejarah (cerita) yang dapat kita gunakan sebagai pembelajaran dan tambahan pengetahuan.

Kisah ini berawal dari wafatnya Sri Sultan Hamengkubuwono V (yang bernama Gusti Raden Mas Gatot Menol) pada 5 Juni 1855 secara mendadak. Dimana saat beliau meninggal permaisuri pertamanya GKR Kencono tidak berputra, sedangkan permaisuri kedua GKR Sekar Kedhaton sedang hamil tua. 13 hari setelah meninggalnya Sri Sultan Hamengkubuwono V, tepatnya 18 Juni 1855 GKR Sekar Kedhaton melahirkan seorang putra yang diberi nama GRM. Timur Muhammad yang bergelar Kanjeng Pangeran Haryo (KPH) Suryaning Ngalaga. Melihat kondisi tersebut pemerintah kolonial Belanda menetapkan adik Sri Sultan Hamengkubuwono ke V yaitu, Pangeran Adipati Mangkubumi (GRM. Mustojo) sebagai Sri Sultan Hamengkubuwono VI. Seiring dengan berjalannya waktu, terjadi konflik sehubungan dengan pengangkatan dan pergantian sultan berikutnya. Hal ini mengakibatkan Sri Kedaton bersama putranya Pangeran Timur Muhammad dan istrinya RA Kanjeng Gusti (putri kedua Sri Sultan Hamengkubuwono VII) beserta dengan para keluarga yang mengikutinya diasingkan ke Manado.

Dalam pengasingan inilah sang permaisuri berserta pangeran menghabiskan masa hidupnya di kota Manado. Mereka bermukim di daerah Pondol, yang kemudian dikenal dengan sebutan Pondol Keraton atau tepatnya mereka tinggal di pesanggrahan yang pernah dihuni Pangeran Diponegoro pada saat Pangeran Diponegoro diasingkan Belanda. Mereka mendapatkan uang tunjangan sebesar 150 Gulden perbulan dari kas keraton, tunjangan yang cukup tinggi pada masa itu.
Setelah kurang lebih 18 tahun tinggal di pengasingan, akhirnya pada tanggal 12 Januari 1901, GRM Timur Muhammad meninggal dalam usia 46 tahun. Sepeninggalan putranya, GKR Sekar Kedaton beserta anak mantunya (RA Kanjeng Gusti) dan cucu-cucunya tetap tinggal di bumi nyiur melambai. Namun pada tanggal 25 Mei 1918, GKR Sekar Kedhaton tutup usia.

<b>Jejak Keraton di Bumi Nyiur Melambai</b>

Makam Permaisuri GKR Sekar Kedhaton dan Putranya GRM Timur Muhammad

GKR Sekar Kedhaton bersama putranya GRM Timur Muhammad yang meninggal dalam pengasingan dimakamkan dalam satu kompleks pekuburan yang masih terawat hingga kini. Dalam kompleks pekuburan ini terdapat satu bangunan menyerupai rumah yang tertutup rapat, tempat dimana makam keduanya berada. Tak sembarangan orang dapat masuk kedalam makam tersebut, harus izin terlebih dulu pada juru kuncinya.

<b>Jejak Keraton di Bumi Nyiur Melambai</b>

Makam-makam diluar bangunan utama (Makam Sekar Kedhaton dan Putranya berada di dalam bangunan tersebut)

<b>Jejak Keraton di Bumi Nyiur Melambai</b>

Makam-makam diluar bangunan utama

<b>Jejak Keraton di Bumi Nyiur Melambai</b>

Makam-makam diluar bangunan utama

<b>Jejak Keraton di Bumi Nyiur Melambai</b>

Bagian belakang Makam

Sebenarnya kompleks makam keluarga Sekar Kedhaton yang terletak di pemakaman muslim ini sendiri tidak begitu luas, kurang lebih 4×5 meter saja dengan dibatasi pagar keliling. Terdiri dari satu bangunan utama berbentuk seperti rumah yang atapnya menyerupai atap rumah joglo. Di bagian luar bangunan terdapat beberapa makam yang berjejer di area depan, serta samping kanan dan kiri bangunan. Makam-makam ini pun masih terlihat sangat terawat dengan nama-nama yang cukup jelas, beberapa diantaranya di ketahui merupakan cucu-cucu dari Sekar Kedhaton, seperti BRM. Abdoel Razak Soeryengngalogo dan BRA. Mariam Soeryengngalogo. Selain makam dari keturunan GKR Sekar Kedhaton, di dalam kompleks makan ini, tepat disisi pintu masuk pagar, terdapat juga makam B.P.H HADIWIDJOJO yang wafat pada 9 Februari 1916, namun makam ini telah dipindahkan ke Pasarean Hasterenggo Kota Gede Yogyakarta pada tanggal 21 Juli 1990. B.P.H Hadiwidjojo sendiri merupakan anak ke-17 dari Sri Sultan Hamengkubuwono VI. Komples makam ini dipagar keliling dan dilengkapi dengan papan keterangan bahwa makam ini merupakan cagar budaya. Di area pekuburan ini, juga terdapat makam pejuang perang Cilegon Banten, Syech Mas .M. Arsyad Thawil Albantani

<b>Jejak Keraton di Bumi Nyiur Melambai</b>

Bekas Makam BPH Hadiwidjojo Putra Sri Sultan Hamengkubuwono VI.