Share

Perjalanan Suku Babontehu Sampai Ke Manado

center

Pulau Manado Tua

Babontehu awalnya diketahui sebagai nama pulau yang berhadapan dengan daerah Minahasa, Sulawesi Utara. Nama pulau tersebut di era sekarang ini lebih dikenal dengan nama pulau Manado Tua. Peletakan kata ‘Tua’ pada nama pulau Manado ini karena dulunya daerah Manado berada di pulau ini (Sebelum akhirnya nama Manado berpindah pada tempat yang sekarang).

Nama Babontehu muncul dalam beberapa literatur Belanda di zaman kolonial dahulu. Di beberapa dokumen, namanya disebut sebagai Bobantohe. Selain sebuah nama pulau, nama Babontehu akhirnya dilekatkan pada sebuah etnis atau suku yang akhirnya menempati pulau ini. Suku ini memiliki sebuah kisah perjalanan yang panjang dengan pulau tersebut.

Saat ini, diketahui tidak banyak yang tersisa dari suku Babontehu selain cerita lampau yang diceritakan pada literatur-literatur asing. Diketahui saat ini terdapat sekelompok masyarakat di daerah Sindulang kota Manado yang mengaku bahwa mereka merupakan keturunan suku Babontehu. Namun nampaknya, masyarakat ini tidak dapat menuturkan bahasa suku Babontehu dan semuanya bertutur dalam bahasa melayu Manado. Bahasa Babontehu kini merupakan salah satu bahasa yang sudah punah.

Menurut cerita tua masyarakat pesisir pantai di kota Manado, dulunya pulau Babontehu dihuni atau menjadi tempat singgah oleh orang Mangindanao dari kepulauan di daerah Filipina. Orang Mangindanao ini diketahui sering memerangi penduduk yang ada di tanah Minahasa, namun setelah mengalami kekalahan dalam perang yang berkepanjangan dengan penduduk Minahasa, akhirnya suku ini kembali ke tanahnya yang semula di daerah Filipina.

Setelah pulau Babontehu atau Pulau Manado ini menjadi kosong pasca kembalinya Mangindanao ke tanahnya, beberapa waktu kemudian masuklah sebuah suku yang datang dari arah kepulauan Maluku. Karena berdiam lama di tempat ini, suku ini disebut sebagai suku Babontehu. Suku Babontehu diketahui sebagai suku pelaut dan dapat bersahabat dengan penduduk di Minahasa.

Seorang penginjil asal Belanda bernama Nicolaas Graflaand yang pernah bertugas di Minahasa pernah menuliskan sebuah perjalanan suku Babontehu ini. Mulanya ada seorang raja dari daerah Bacan yang beseteru dengan istrinya tentang masalah gundik raja yang rupawan. Rupanya pertengkaran ini terus berlarut sehingga sang raja tidak bisa lagi hidup damai di tempatnya.

Karena hal yang demikian, dikumpulkanlah gundik tersebut beserta seluruh pasukan raja dan pergi meninggalkan daerah itu. Raja beserta rombongannya berlayar ke arah barat dari tanah Bacan untuk mencari daerah baru untuk ditinggali. Sampailah sang raja beserta pasukannya di daerah Minahasa, yakni daerah yang bernama Molibagu.

Karena sang raja merasa daerah tersebut kurang baik untuk ditinggali, maka berlayarlah kembali mereka melewati tanjung Telesko ke daerah Pasolo, namun sepertinya tidak ada tempat untuk tinggal di sana. Pelayaran pun berlanjut dan sampai ke pulau Baling-baling (Dekat Tumbak, Minahasa Tenggara). Di pulau ini sang raja beserta rombongannya singgah untuk memasak makanan.

Dari pulau Baling-baling, perjalanan berlanjut menggunakan perahu sampai ke pulau Lembeh. Di pulau Lembeh ini, raja beserta rombongannya tinggal selama beberapa hari. Karena menurut raja bahwasannya di pulau Lembeh ini tidak ada tempat yang baik untuk pelabuhan, maka perjalanan dilanjutkan dan sampai di pulau berikutnya, yaitu pulau Bangka.
Masyarakat ini tinggal berbulan-bulan di pulau Bangka, sampai akhirnya datanglah suruhan dari raja besar di tanah Bacan untuk menagih perjanjian antara raja tersebut. Perjanjian tersebut adalah sang raja harus menyiapkan 100 orang anak muda dalam tahun penghabisan untuk raja besar di tanah Bacan itu. Karena tidak ingin melakukannya, maka raja tersebut berserta rombongannya keluar dari pulau Bangka dan pergi mencari pulau yang lain.

Raja beserta rombongannya pergi ke pulau Nain besar dan Nain kecil. Menurut cerita, di pulau Nain ini sang raja berselisih paham dengan anak perempuannya, yang menyebabkan anak ini merajuk kepada ayahnya dan di ujung kisahnya, sang anak meninggal. Menurut cerita, kubur anak ini menjadi sebuah parigi batu. Hal ini cukup menakutkan, oleh karena itu sang raja beserta rombongannya kembali keluar dari pulau dan pergi ke pulau lain yang dekat dari situ.

Tibalah sang raja beserta rombongannya di pulau Babontehu dan menetap di sana sampai akhir hayat. Setelah sang raja meninggal, beliau digantikan dengan dua orang yang memimpin yakni Mokodompis dan Lumentut. Diketahui, Mokodompis dan Lumentut menyandang gelar Hukum Tua. Dalam beberapa tahun ke depan, muncul tujuh orang bersaudara yang memiliki kemampuan luar biasa dalam perperangan. Mereka adalah Bukarakombang, Boremanung, Manikusa, Sahadagi,
Bahakiki, Huntumoniaga, dan satu perempuan bernama Dongintairang.

Karena ketujuh bersaudara itu terlalu kuat untuk diperintahkan, maka berseterulah kedua hukum tua dengan ketujuh bersaudara itu, yang menyebabkan ketujuh bersaudara pergi meninggalkan pulau Babontehu. Di kemudian hari, akhirnya hukum tua Mokodompis pergi mencari ketujuh bersaudara itu dan membujuk mereka untuk pulang ke pulau Babontehu.

Singkat cerita, Mokodompis menikahi saudari perempuan ketujuh bersaudara itu yang bernama Dongintairang. Sejak saat itu, hukum tua dan keenam bersaudara hidup dengan damai. Karena sudah tidak berseteru, keenam saudara tersebut meminta izin untuk pergi berperang di daerah Tomini. Hukum tua Mokodompis mengizinkan dengan perjanjian bahwa mereka harus membawa pulang satu budak perempuan untuk Mokodompis.

Setelah pergi berperang (Bahasa Babontehu menyebutnya Rumoraho), keenam bersaudara ini berhasil mengalahkan orang Tomini dan membawa pulang satu orang budak perempuan untuk hukum tua Mokodompis. Karena budak perempuan ini sangat cantik, hukum tua Mokodompis kemudian menjadikannya gundik.

Suatu hari, datanglah tantangan untuk berperang dari raja Bolaang Mongondow kepada hukum tua Mokodompis dan Lumentut. Tantangan untuk berperang pun diterima. Karena suku Babontehu memiliki keenam bersaudara yang sangat mahir dalam berperang, Bolaang Mongondow mundur dan perperangan pun dimenangkan oleh suku Babontehu.

Karena dilihat oleh Bolaang Mongondow bahwa Babontehu terlalu sulit untuk dikalahkan, maka orang Mongondow mengambil siasat untuk melepaskan dua ekor yaki (Spesies monyet) dan dalam beberapa waktu bertambah-tambahlah yaki tersebut di pulau Babontehu. Yaki ini menjadi hama yang sangat menggangu, banyak tanaman atau kebun yang dirusak oleh hewan yaki tersebut. Akhrinya, masyarakat Babontehu menderita kelaparan di pulau tersebut.

Hukum tua Mokodompis dan hukum tua Lumentut akhirnya bersepakat untuk membawa keluar rakyatnya dari pulau tersebut. Namun sayangnya, tidak jauh dari waktu yang disepakati untuk keluar, hukum tua Mokodompis meninggal. Ia pun akhirnya dikuburkan di pulau itu.

Pulau Babontehu akhirnya ditinggalkan. Hukum tua Lumentut dan Mahasu (Anak Mokodompis) memimpin perjalanan dan tiba di tanah Minahasa. Mereka tiba di suatu tempat yang bernama Batu Hitam. Dari tempat ini, mereka menyebar menyusuri daerah-daerah di sepanjang pantai.

Dahulu kala orang Babontehu pernah bersahabat dengan orang Kinilow. Karena di dengar oleh orang Kinilow bahwa orang Babontehu sudah ada di tanah Benang, maka orang Kinilow mencari orang Babontehu dan mengajak mereka berbicara. Orang Kinilow mengatakan supaya orang Babontehu ini mencari kompeni Belanda karena merekalah yang sedang berkuasa. Orang Kinilow juga memberikan makanan dan bekal bagi mereka untuk melakukan perjalanan.

Orang Babontehu akhirnya melakukan apa yang dikatakan oleh orang Kinilow dan pergi mencari kompeni Belanda. Hukum tua Lumentut dan Mahasu memilih keenam bersaudara yakni Bukarakombang, Boremanung, Manikusa, Bahakiki, dan Huntumoniaga untuk pergi mencari kompeni Belanda. Mereka pun akhirnya bertemu kompeni dan kompeni menunjuk tanah Benang sebagai tempat tinggal orang Babontehu ini.

Demikianlah orang Babontehu akhirnya masuk ke daerah Benang setelah melewati perjalanan yang panjang dari tanah Bacan di kepulauan Maluku. Nama Benang kemudian hari berubah nama menjadi distrik Manado. Distrik Manado kedepannya menjadi kotamadya Manado.

Pulau Manado (Nama lain pulau Babontehu/Bobantohe) pada akhirnya disebut sebagai pulau Manado Tua, karena nama Manado terlebih dahulu digunakan untuk menyebut tempat tersebut. Menurut beberapa sejarahwan, orang Babontehu akhirnya berbaur dengan masyarakat setempat (Orang Minahasa) maupun orang-orang Eropa yang tinggal di daerah Benang.