Share

Kisah pembuangan ulama besar Kyai Modjo dan kawan-kawan di tanah Minahasa

<b>Kisah pembuangan ulama besar Kyai Modjo dan kawan-kawan di tanah Minahasa</b>

Gapura masuk kompleks makam Kyai Mojo

Di kecamatan Tondano Utara, Kabupaten Minahasa, terdapat makam seorang pejuang islam dari tanah Jawa. Beliau adalah Kyai Muslim Muhammad Halifah yang dikenal sebagai Kyai Modjo (1764-1849). Beliau adalah saudara dari Pangeran Diponegoro yang juga menjabat sebagai penasehat spiritualnya. Karena ikut menentang kekuasaan Belanda di Hindia-Belanda, beliau ditangkap dan diasingkan ke tanah Minahasa. Pada akhir tahun 1929, Kyai Modjo dan 63 orang pengikutnya tiba di Tondano dan selanjutnya hidup disana sampai tutup usia.

Sekilas mengenai Kyai Modjo: Muslim Muhammad Halifah berasal dari keluarga yang taat agama. Ayahnya yang bernama Abdul Ngarip atau Kyai Baderan I adalah seorang ulama yang terkenal pada masanya di daerah dusun Baderan dan Modjo. Abdul Ngarip menikah dengan saudari perempuan Hamengkubuwono III yaitu R.A. Mursilah. Dalam hal ini, Muhammad Halifah adalah sepupu dari pangeran Diponegoro. Walaupun ibunya berasal dari keluarga keraton, namun Muhammad Halifah dibesarkan di luar lingkungan keraton. Ketika dewasa, Muhammad Halifah sepulang dari ibadah haji di Mekkah memimpin satu pesantren di daerah Modjo. Di pesantren ini banyak putra dan putri dari keraton Solo yang belajar agama. Disinilah beliau dikenal dengan nama Kyai Modjo.

Kyai Modjo menikahi R.A. Mangubumi, seorang janda cerai dari Pangeran Mangkubumi. Karena hal inilah beliau dipanggil ‘Paman’ oleh Pangeran Diponegoro walaupun dari silsilah beliau adalah sepupu. Singkat cerita, Kyai Modjo menjadi penasehat agama sekaligus panglima perang Diponegoro. Beberapa waktu kemudian mereka berpisah karena memiliki paham yang berbeda. Menurut catatan bekas ajudan Pangeran Diponegoro, Raden Mas Djojodiningrat yang ditemukan oleh Peter Carey (Peneliti tentang perang Diponegoro) bahwa Pangeran telah ingkar janji kepada Kyai Modjo bahwasannya akan mendirikan suatu pemerintahan islam, namun pada perjalanannya Kyai Modjo menganggap Pangeran hanya ingin mendirikan kerajaan baru. Penjajahan Belanda di pulau Jawa sudah sangat menyiksa rakyat sehingga rakyat mulai menunjukkan perlawanan. Perlawanan terhadap kekuasaan Belanda ini pun ditunjukkan oleh keluarga Kyai Modjo. Kyai Modjo beserta saudara-saudaranya yakni Kyai Hasan Besari, Kyai Hasan Muhammad, dan Kyai Wira Patih (Kyai Baderan II) beserta rakyat akhirnya mengangkat senjata melawan Belanda. Pada tanggal 17 Nopember 1828, Kyai Modjo ditangkap Belanda. Kyai Modjo beserta pengikutnya (Semuanya laki-laki) dibawa ke Batavia kemudian diasingkan ke Tondano, Minahasa.

<b>Kisah pembuangan ulama besar Kyai Modjo dan kawan-kawan di tanah Minahasa</b>

Tangga naik ke area pemakaman Kyai Mojo DKK

Di Pengasingan, Kyai Modjo dan pengikutnya membawa budaya Jawa yang ramah sehingga mereka mampu hidup berbaur dengan masyarakat lokal di daerah itu. Beberapa orang Jawa pengikut Kyai Modjo menikahi orang Tondano di daerah itu dan tinggal menetap, akhirnya tempat itu dikenal dengan kampung Jaton (Jawa Tondano). Istri Kyai Modjo ditangkap Belanda kemudian dan dikirim ke Tondano menyusul suaminya.

<b>Kisah pembuangan ulama besar Kyai Modjo dan kawan-kawan di tanah Minahasa</b>

Makam Kyai Mojo

<b>Kisah pembuangan ulama besar Kyai Modjo dan kawan-kawan di tanah Minahasa</b>

Makam Kyai Mojo, berwarna coklat, berundak 9.

Kyai Modjo dimakamkan di kelurahan Wulauan, sekitar kampung Jawa Tondano. Letak kubur Kyai Modjo berada di area perbukitan, berseberangan dengan pemakaman muslim masyarakat Jaton (Jawa Tondano). Lokasi pemakaman ini sangat asri, rapi, dan bersih. Pohon-pohon besar yang berada di perbukitan membuat udara di sekitar area ini sejuk. Di sekitaran makam kyai Modjo, dimakamkan pula pengikut-pengikutnya. Di tempat ini, makam Kyai Modjo merupakan satu-satunya makam yang berundak 9. Selain itu ada makam yang berundak 3 dengan jumlah 47 buah, berundak 2 dengan jumlah 60 buah, berundak satu dengan jumlah 58 buah. Mengingat jumlah pengikut kyai Modjo yang hanya berjumlah 63 orang laki-laki dan jumlah makam disini berjumlah lebih dari 100, kemungkinan makam-makam lain adalah makam keturunan pengikut Kyai Modjo atau ada beberapa makam penjuang lain yang namanya belum tercatat oleh pemerintah Belanda.

<b>Kisah pembuangan ulama besar Kyai Modjo dan kawan-kawan di tanah Minahasa</b>

Makan sebagian pengikut Kyai Mojo

Selain makam Kyai Modjo, sebenarnya di area ini juga dimakamkan pahlawan nasional Kyai Ahmad Rifai. Letak makam Kyai Ahmad Rifai hanya bersebelahan dengan lokasi makam Kyai Modjo. Kyai Ahmad Rifai sendiri sebenarnya tidak ada hubungannya dengan rombongan Kyai Modjo. Beliau adalah seorang ulama pendiri organisasi kemasyarakatan Rifa’iyyah yang sudah beberapa kali keluar masuk penjara dan diasingkan karena menentang Belanda (Berdakwah sambil menanamkan semangat kemerdekaan). Pengasingan terakhir beliau di Tondano dan menghabiskan sisa hidup disana. Tanggal 10 November 2004, Ahmad Rifai dianugerahi gelar sebagai pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

<b>Kisah pembuangan ulama besar Kyai Modjo dan kawan-kawan di tanah Minahasa</b>

Makam Pahlawan Nasional K.H Ahmad Rifa’i

<b>Kisah pembuangan ulama besar Kyai Modjo dan kawan-kawan di tanah Minahasa</b>

Makam K.H Hasan Maulani (Eyang Lengkong)

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, lokasi pemakaman Kyai Modjo dan rombongannya beserta Kyai Ahmad Rifai berada di perbukitan yang bersebelahan dengan pemakaman umum kampung Jaton. Yang menarik, ternyata di lokasi pemakaman umum kampung Jaton ini terdapat makam dari Al-Habib Abdullah Bin Umar Assagaf (Keturunan nabi Muhammad SAW). Beliau adalah anak dari Syarief Umar Bin Muhammad Bin Abdurrahman menantu dari Sultan Machmud Badaruddin II (Kerajaan Palembang Darussalam 1803-1821). Berdasarkan catatan sejarah, Habib Abdullah dan ayahnya beserta Sultan Machmud Badaruddin II pada tanngal 3 Juli 1821 dibuang oleh pemerintah Belanda. Mula-mula dibawa ke Betawi, kemudian ke Ternate. Karena Belanda takut dengan pengaruh Sultan Machmud Badaruddin II di Ternate, maka beliau dipulangkan ke Palembang, sementara Habib Abdullah dan ayahnya tetap di Ternate. Umar Assagaf meninggal di Ternate, sedangkan anaknya kembali dibuang oleh Belanda di Tondano. Habib Abdullah menghabiskan sisa hidupnya di Tondano sampai beliau tutup usia.

<b>Kisah pembuangan ulama besar Kyai Modjo dan kawan-kawan di tanah Minahasa</b>

Gapura Pekuburan Umum JATON dan Makam Al-Habib Abdullah Bin Umar Assagaf