Share

Cerita Rakyat Minahasa: Buaya dan Manusia

Cerita rakyat tentang manusia buaya adalah hal yang banyak ditemui pada masyarakat Indonesia. Hal ini menjadi salah satu kekayaan budaya dalam bentuk kearifan lokal lisan yang terus diceritakan turun temurun dalam suatu komunitas budaya. Zaman dahulu adalah zaman yang benar-benar berbeda dari zaman sekarang. Bukan mengenai perbedaan peradabannya, namun lebih menyangkut cara hidup masyarakat yang benar-benar bergantung pada lingkungan sekitarnya dibandingkan zaman sekarang. Cara hidup yang berdampingan dengan alam sekitar ini melahirkan suatu pemahaman yang relijius dimana alam sekitar terdapat suatu entitas yang berbeda dengan makhluk hidup pada umumnya, yang berada di alam sekitar kita. Hal ini tercermin dalam kisah-kisah tentang keberadaan manusia setengah buaya atau orang pada umumnya menyebutnya siluman buaya.

Kepercayaan tentang totem adalah salah satu peninggalan atau warisan budaya dari rumpun Austronesia dimana sebagai turunan dari rumpun ini, bangsa Indonesia pun menyimpan segudang cerita rakyat yang berhubungan dengan totem. Totem dalam pengertiannya merupakan suatu entitas yang memiliki kekuatan gaib dimana entitas ini mengawasi seseorang atau kelompok yang berhubungan atau berkerabat dengannya. Totem sendiri dapat berwujud tumbuhan atau binatang dan dihormati oleh masyarakat. Biasanya, totem dibuat menjadi suatu benda (Misalnya patung) dimana benda ini dipercaya memiliki kekuatan karena bentuknya yang sama dengan roh atau entitas yang dipercaya oleh pembuatnya.

Kisah-kisah tentang manusia buaya begitu banyak ditemukan di berbagai pelosok Indonesia. Sebagian ceritanya ditemukan hampir mirip namun sebagian ceritanya juga berbeda, tergantung di daerah mana cerita rakyat ini berasal. Di beberapa daerah terdapat cerita romantis tentang manusia setengah buaya yang menikah dengan manusia, namun di beberapa daerah pun terdapat cerita kepahlawanan tentang manusia setengah buaya yang bertarung dengan manusia, sebagai contoh; Kisah tentang Jaka Bajul sang siluman buaya yang menikah dengan gadis desa Jatisawit pada masyarakat Indramayu, kisah cinta yang terlarang dan buaya putih di danau Setu Babakan pada masyarakat Betawi, ataupun kisah tentang pertarungan dua orang sakti dan batu buaya pada suku Bantik.

Berikut ini, penulis akan menceritakan kembali sebuah kisah yang mulai dilupakan di era sekarang ini, yakni tentang manusia buaya dan seorang wanita asal Minahasa. Kisah ini sudah ada sejak zaman Minahasa lampau dan pernah diceritakan kembali oleh seorang naturalis dari Inggris bernama Sidney Hickson dalam perjalanannya di sekitar kepulauan Nusantara pada tahun 1885, termasuk di daerah Sulawesi Utara, khususnya Minahasa. Begini ceritanya:

Legenda tentang Koingotan dan Rimbah

Zaman dahulu pernah hidup seorang wanita yang bersuamikan Rumimpunu. Nama wanita ini adalah Rimbah. Rimbah dan suaminya Rumimpunu hidup bersama namun tidak memiliki anak. Kesehariannya, Rimbah turun untuk mengambil air di muara sungai. Pada suatu hari di sungai itu ia melihat seekor buaya besar di sekitaran sungai. Buaya itu juga melihat Rimbah kemudian secara perlahan-lahan mendekatinya. Anehnya, ketika buaya itu semakin dekat, buaya itu berubah bentuk menjadi manusia, yakni seorang pria. Sebenarnya sang manusia buaya tertarik dan sangat menyukai Rimbah. Maksud kemunculan manusia buaya ini kepada Rimbah adalah untuk meminta untuk menikah dengannya. Rimbah dengan tegas menolaknya karena ia sudah memiliki suami. Namun manusia buaya itu terus menggoda Rimbah, pada akhirnya Rimbah pun jatuh ke dalam godaannya dan setuju untuk menjadi istrinya. Rimbah tinggal bersama manusia buaya itu untuk beberapa saat. Namun karena keadaan yang tidak memungkinkan, manusia buaya ini terpaksa harus pergi meninggalkan Rimbah. Sebelum kepergian manusia buaya itu, ia berpesan kepada Rimbah bahwa apabila Rimbah memiliki anak laki-laki, haruslah ia menamakannya Rumambi. Setelah itu, manusia buaya itu pergi ke dekat muara sungai dan berubah bentuk menjadi buaya lagi. Buaya itu pergi mengarah ke laut.

Setelah kejadian itu, Rimbah kembali lagi kepada suaminya Rumimpunu. Rimbah kemudian melahirkan anak laki-laki sepuluh bulan kemudian. Sesuai adat-istiadat di negeri itu, seorang anak tidak diperbolehkan keluar dari ruangan dimana anak itu dilahirkan sampai waktu tertentu yang telah diputuskan berdasarkan petunjuk orang tua (Pemangku adat). Ketika waktunya telah berlalu, suatu pesta diadakan. Dalam acara ini, rekan-rekan keluarga datang dan mereka akan memberi nama anak yang baru lahir itu.

Pada saat pesta berlangsung, datanglah si manusia buaya yang bersama-sama dengan manusia-manusia buaya lainnya dalam wujud laki-laki. Mereka kemudian menyatakan bahwa mereka memiliki hubungan keluarga. Persahabatan pun terjadi antara Rumimpunu dan manusia buaya itu. Manusia buaya itu mengenalkan namanya, yakni Koingotan dan menceritakan kejadian yang sebenarnya. Pada akhirnya Rumimpunu pun dapat menerima keadaan itu. Sebelum Koingotan pergi, ia mengatakan, “Temanku Rumimpunu, ketika anak ini besar nanti, katakan kepadanya semua ini, dan biarkan dia bercerita kepada anak-anaknya dan cucu-cucunya bahwa apabila keturunannya ingin menyeberangi muara sungai, janganlah takut, mereka cukup mengingat dan berkata, “Kakek, jagalah cucumu ini,” dan mereka akan aman.

Peristiwa Koingotan, anaknya Rumambi, dan keturunannya ternyata benar-benar terjadi. Setiap keturunan Rumambi ingin menyeberangi sungai yang banyak buayanya, mereka tidak takut karena mereka percaya bahwa dengan sumpah yang diucapkan oleh leluhur mereka Koingotan, dan memang benar mereka aman dari buaya setiap kali menyeberangi sungai.

Cerita diatas merupakan salah satu cerita rakyat asal Minahasa yang mungkin asing bagi generasi yaang ada sekarang ini. Cerita rakyat memang merupakan salah satu dari kekayaan budaya yang ada pada masyarakat Indonesia. Sangat wajar apabila cerita rakyat ini terus dilestarikan, namun sayangnya di beberapa daerah, cerita rakyat justru mulai menghilang karena kurang diminati oleh generasi masa kini. Selain itu, bagi sebagian orang cerita rakyat justru dianggap dongeng belaka yang tidak terlalu penting untuk diceritakan. Hal ini sangat disayangkan karena cerita rakyat adalah warisan budaya non-bendawi atau kekayaan budaya lisan yang sebagian besar terancam punah selain bahasa.