Share

Meriahnya Festival Wanua Warembungan 2019

Hari ini dilaksanakan festival wanua Warembungan yang diselenggarakan selama tiga hari sejak tanggal 7 Maret dan selesai pada hari ini di puncak Kimuwu, desa Warembungan. Festival wanua Warembungan ini dalam rangka hari ulang tahun desa Warembungan yang sudah ada sejak 190 tahun yang lalu.

Acara Festival Wanua Warembungan in dimulai dengan napak tilas yang dimulai di desa Lotta. Desa Lotta sendiri dikenal sebagai wanua ure dalam bahasa lokal yang berarti kampung lama. Dari desa Lotta napak tilas dimulai dan sesuai jadwal, napak tilas di akhiri di desa Warembungan, tepatnya di Watu Tumani Wanua Warembungan. Napak tilas ini dilakukan juga dalam rangka mengenang dan mengambil kembali ingatan akan perjalanan leluhur-leluhur orang Warembungan yang sebenarnya berasal dari desa Lotta (Wanua Ure).

Beberapa petugas dari kepolisian terlihat sedang bertugas untuk turut menyukseskan rangkaian acara tersebut sejak hari pertama. Bersama-sama dengan masyarakat adat, ketertiban dan keamanan menjadi bagian dalam rangkaian festival ini.

Hari kedua tanggal 8 Maret, diadakan seminar budaya Wanua di Wale Wewengkang, desa Warembungan. Wale Wewengkang ini berlokasi di dekat jalan menuju puncak Kimuwu desa Warembungan. Seminar ini menghadirkan narasumber seperti:
– Pdt. DR. Richard Siwu, MA, yang membawakan materi tentang komunitas adat di tengah perubahan sosial
– Pastor DR. Paul R. Renwarin, Pr, yang membawakan materi tentang makna ritus mahelur dalam masyarakat Minahasa
– DR. Denni H. Pinontoan, M.Teol, yang membawakan materi tentang makna wanua dari perspektif kebudayaan
– DR. Ivan R.B. Kaunang, M.Hum, yang membawakan materi tentang wanua dan perubahan dari perspektif kajian budaya
– Freddy Wowor, SS, yang membawakan materi tentang menjadi kelung umbanua di konteks kekinian

Seminar budaya Wanua yang dilaksanakan tergolong sukses. Memang tidak banyak masyarakat adat yang menghadiri seminar ini, namun antusias dari beberapa masyarakat yang hadir dalam seminar tersebut sangat besar. Seminar ini dihadiri oleh golongan tua maupun kaum muda yang berbudaya Minahasa atau mencintai kebudayaan bangsanya.

Hari kedua tidak hanya dilakukan seminar budaya, namun juga pameran beberapa benda-benda bersejarah atau model instrumen kuno yang dipakai oleh leluhur Minahasa. Pameran tersebut berupa gambar-gambar beserta nama dan penjelasannya yang dipampang di sekitar ruangan tempat dilaksanakannya seminar budaya Wanua.

Hari ketiga ini merupakan akhir dari rangkaian festival budaya wanua Warembungan ini. Pagi-pagi benar sudah dilakukan ritual Rumages di puncak Kimuwu. Setelah ritual adat selesai, acara disambung kembali di siang hari sesuai jadwal yakni jam 1 siang. Acara siang dimulai dengan parade budaya yang dimulai di Pahumengan ne Waraney desa Warembungan dan diakhiri di puncak Kimuwu.

Selesai parade budaya, di puncak Kimuwu dilakukan tari-tarian Kawasaran yang turut dimeriahkan oleh beberapa sanggar seni dan masyarakat adat Minahasa. Terlihat tari-tarian Kawasaran dibawakan oleh etnis-etnis Minahasa dari Toulour, Tonsea, Tontemboan, Tombulu, dan Tonsawang. Pertunjukan tari ini disambut ramai oleh pengunjung-pengunjung yang menyaksikan festival budaya ini.

Selain pertunjukan tari-tarian, terdapat juga beberapa pertunjukkan seperti pembacaan puisi, kalelon makaruyen, syair Minahasa, ataupun nyanyian. Pertunjukkan-pertunjukkan ini dibawakan oleh masyarakat-masyarakat adat yang mengambil bagian dalam meramaikan festival budaya ini, seperti dari Komunitas Rinte Tonsea, KAMA Mawale, Tonaas Rinto Taroreh dan lainnya.

Satu hal yang paling menarik dalam acara ini adalah saat makan bersama. Makan bersama ala Minahasa ini tidak sama dengan makan bersama di acara-acara besar pada umumnya. Makan bersama ini dilakukan di dalam ‘Sabuah’ atau seperti tenda yang dibangun secara tradisional dengan bahan-bahan alam, dimana acara makan bersama ini dilakukan diatas sebuah meja yang panjang yang berjumlah beberapa baris. Menu makan bersama diletakkan diatas daun pisang dan dimakan menggunakan tangan (Tanpa alat seperti senduk atau garpu). Makan siang bersama dilakukan dengan berdiri di depan meja makan. Hal-hal ini sangat tradisional namun dari disinilah terlihat nilai-nilai kebersamaan orang Minahasa atau yang biasa kita kenal dengan sebutan Mapalus. Makan siang dilakukan oleh setiap golongan yang hadir dalam acara Festival Wanua Warembungan ini tanpa dibeda-bedakan.

Selain rasa kebersamaan yang ada pada rakyat Minahasa, satu hal yang positif dalam festival ini adalah kebersihan. Terlihat beberapa tempat sampah seadanya yang disiapkan oleh panitia acara dan tempat sampah ini sangat berfungsi. Kesadaran masyarakat adat Minahasa terhadap lingkungan dapat dibuktikan pada hari terakhir ini. Setiap orang terlihat membuang sampah pada tempatnya. Acara ini berlangsung dengan baik, dan ditutup dengan upacara Mahelur di puncak Kimuwu ini. Festival Wanua Warembungan selama tiga hari ini berjalan dengan sukses dari awal hingga akhir.