Share

Maria Walanda Maramis…. Pahlawan Emansipasi Wanita Asal Minahasa

<b>Maria Walanda Maramis…. Pahlawan Emansipasi Wanita Asal Minahasa</b>

Maria Walanda Maramis adalah salah satu tokoh emansipasi wanita di Indonesia. Berbicara mengenai emansipasi wanita, biasanya kita sebagai rakyat Indonesia yang sering terbersit di ingatan ialah sosok R.A. Kartini (1879-1904), dimana sosok Kartini ini sudah melekat di benak sebagian besar masyarakat di Indonesia sebagai seorang pejuang emansipasi wanita yang mengupayakan persamaan hak kaum perempuan untuk mendapatkan hak-haknya dalam bidang pendidikan. Namun ternyata tidak hanya Kartini saja yang aktif memperjuangkan kesetaraan gender antara kaum perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan hak-haknya di tengah masyarakat. Kalau pulau Jawa diwakili oleh Raden Ajeng Kartini, di masa yang sama pulau Sulawesi memiliki Maria Walanda Maramis (1872-1924) yaitu seorang pejuang perempuan yang memperjuangkan hak-hak perempuan – awalnya di Minahasa, kemudian merambat ke seluruh penjuru Indonesia – di dunia pendidikan dan politik.

Maria Josephine Catharina Maramis atau yang lebih dikenal dengan Maria Walanda Maramis merupakan seorang Pahlawan Nasional yang berasal dari sebuah desa kecil bernama Kema yang berada di Minahasa Utara. Beliau lahir dari pasangan suami istri yang bernama Bernadus Maramis dan Sarah Rotinsulu pada tanggal 1 desember 1872 dan merupakan anak bungsu dari 3 bersaudara. Di usianya yang masih tergolong sangat muda, yaitu 6 tahun Maria harus kehilangan kedua orang tuanya yang meninggal akibat penyakit kolera yang saat itu melanda sebagian besar daerah Minahasa dan sekitarnya. Sepeninggalan kedua orang tuanya, Maria Maramis bersama dengan kedua orang kakaknya, Antje Maramis dan Andries Maramis (Ayah dari AA. Maramis, salah satu dari Founding Father negara Indonesia yang kemudian menjabat sebagai Menteri Keuangan pertama Republik Indonesia) diasuh oleh keluarga pamannya (keluarga dari ibunya) Essau Rotinsulu yang merupakan seorang kepala distrik yang cukup dihormati di daerah Airmadidi, Minahasa Utara. Oleh pamannya, Maria dan Antje disekolahkan di Sekolah Rakyat (Setara dengan sekolah dasar) di Maumbi. Di sekolah ini, Maria mendapatkan pendidikan dasar membaca dan menulis serta sedikit pengetahuan umum. Bersekolah di tempat ini merupakan satu-satunya pendidikan resmi yang di dapat oleh Maria dan kakak perempuannya.

Pada zaman itu, memang peran perempuan pada umumnya di Minahasa hanya untuk menikah dan mengurus keluarga. Hal ini membuat Maria dan kakak perempuannya hanya mampu menamatkan sekolah selama 3 tahun di Sekolah Rakyat dan tidak memiliki kesempatan untuk mendapatkan pendidikan lanjut, berbeda dengan kakak laki-lakinya yang melanjutkan sekolah di Hofdenschool atau sekolah raja di Tondano. Hal ini juga yang menyadarkan Maria akan kesenjangan yang tercipta karena perbedaan gender maupun status sosial –apabila beliau seorang pria atau mungkin berasal dari keluarga kaya, beliau bisa mendapatkan pendidikan lanjut.

Selama tinggal dengan paman yang menjabat sebagai kepala distrik, tentu saja rumah pamannya didatangi oleh berbagai macam kalangan mulai dari petani, nelayan, pendeta, guru, bahkan pejabat-pejabat dan tamu dari Keresidenan Manado. Menghabiskan masa remaja di rumah seorang Kepala Distrik, tentu saja Maria dan Antje secara langsung maupun tidak langsung mempelajari tata krama (Menyambut tamu, menyapa orang, dan lain-lain), estetika seluruh tubuh, cara berpakaian, sampai pada pekerjaan rumah tangga seperti memasak (Makanan khas Minahasa dan makanan Eropa), dan lain sebagainya. Suka tidak suka, hal ini memang harus dijalani. Namun karena hal ini pula, Maria dan kakak perempuannya memiliki keterampilan dan sopan santun yang baik.

Memiliki paman yang terpandang dan banyak relasi dengan orang Belanda merupakan salah satu peluang yang baik untuk Maria dalam pergaulan sehari-hari. Walaupun hanya lulusan Sekolah Rakyat (Setara sekolah dasar), Maria dapat bergaul dengan orang-orang Belanda, salah satunya Ten Hoeven, seorang dari keluarga pendeta Belanda. Ten Hoeven memiliki pandangan yang luas mengenai dunia pendidikan dan hal ini membuat Maria terinspirasi, terutama dalam memajukan martabat kaum perempuan.

Di umur yang ke 18, Maria menikah dengan seorang guru bahasa di Hollandsch Inlandsche School Manado atau HIS yang bernama Joseph Frederik Calusung Walanda. Dari pernikahannya ini beliau lebih dikenal dengan nama Maria Walanda Maramis (Mengenakan marga suaminya). Maria dianugerahi tiga orang anak dari pernikahannya. Dari suaminya, Maria juga banyak belajar tentang bahasa Belanda dan pengetahuan lain serta kondisi dan keadaan masyarakat Sulawesi. Sebagai seorang guru, Joseph merupakan suami yang mengerti dan mendorong kemauan Maria untuk belajar. Maria dibelikan buku-buku yang penting oleh suaminya untuk belajar. Dari pengetahuan yang semakin bertambah-tambah, Maria mulai berpikir tentang cengkraman adat yang tidak menguntungkan kaum perempuan dan pola pendidikan Belanda yang sudah maju dan beradab.

Maria pun mulai gelisah dengan ketidak-adilan yang diterima oleh kaum perempuan pada saat itu. Baginya pendidikan yang layak seharusnya juga didapatkan oleh kaum perempuan dan tidak memandang status sosial apapun. Dengan semangat dan dorongan dari suaminya juga dari teman-teman Maria yang berpengertian luas, pada tanggal 8 Juli 1917 Maria berhasil mendirikan sebuah perkumpulan perempuan yang diberi nama Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya atau PIKAT. Organisasi ini direstui oleh Belanda. Organisasi ini awalnya semacam sekolah yang memberi pendidikan dasar tentang kerumah-tanggaan, misalnya memasak, menjahit, atau cara merawat bayi, pekerjaan tangan, dan lain-lain. Tidak hanya itu, sekolah ini juga mengajarkan pertolongan pertama pada kecelakaan dan pelajaran bahasa Belanda. Bagi Maria, perempuan adalah tiang keluarga dimana pundaknya tergantung masa depan seorang anak dan perempuan perlu mendapatkan pendidikan yang baik agar kelak anaknya menjadi orang yang luar biasa dan berguna bagi bangsanya. PIKAT ternyata menarik perhatian banyak kaum perempuan pada masa itu baik masyarakat lokal maupun perempuan-perempuan Belanda. Sekolah ini menerima murid kaum perempuan dari golongan dan status sosial apapun tanpa memandang bulu.

Maria Walanda Maramis juga pernah mengungkapkan pemikirannya tentang kaum perempuan melalui tulisan di harian Tjahaja Siang di Manado dimana beliau mengajak semua kaum perempuan untuk maju dan bangkit dan menganjurkan untuk mendirikan cabang PIKAT di daerah-daerah lain. Pemikiran ini tentunya mendapatkan banyak respon positif oleh kaum perempuan di daerah lain. Hasilnya, PIKAT memiliki cabang di beberapa daerah Minahasa misalnya Maumbi, Tondano, Motoling, Sanger dan Talaud, dan Gorontalo. Buah pemikiran Maria tentang kesetaraan gender ternyata disambut baik juga di daerah-daerah luar Minahasa. Hasilnya, PIKAT meluas dan memiliki cabang di Poso, Donggala, Balikpapan, Sanga Sanga, Kota Raja, Surabaya, Magelang, Cimahi, Bandung, Bogor, dan Batavia.

Tulisan-tulisan Maria banyak beredar di berbagai media cetak pada saat itu. Inti dari tulisan-tulisan ini tetap sama
yakni cita-citanya dalam mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan di bumi pertiwi dari keterbelakangan dan kebodohan. Beberapa organisasi baik sebelum berdirinya PIKAT ataupun sesudahnya banyak yang dipengaruhi oleh ideologi-ideologi PIKAT.

Pada tanggal 2 Juli 1918, organisasi PIKAT mendirikan Huishoudschool, yakni sekolah rumah tangga untuk perempuan muda. Demi mendirikan sekolah ini, Maria Walanda Maramis rela berjualan kue serta melakukan pekerjaan tangan lainnya. Dengan kegigihan dan usahanya, Maria pendapatkan perhatian dari teman-temannya serta orang-orang terpandang di Manado sehingga sumbangan-sumbangan masuk ke kas untuk mendirikan sekolah. Sekolah ini adalah sekolah wanita pertama yang menggunakan rumah yang dipinjamkan (Tanpa disewa) dalam batas waktu yang tidak ditentukan oleh seorang pedagang Belanda yang tertarik dengan cita-cita Maria. Diketahui, Maria juga pernah menyelenggarakan pertunjukan sandiwara Pingkan Mogogunoy, yakni cerita klasik perempuan Minahasa dan kesetiaannya kepada suaminya. Atas usaha-usaha ini, Maria tidak hanya mendirikan sekolah untuk kaum perempuan, namun juga asrama. Pada tanggal 10 Mei 1919, PIKAT membeli sebidang tanah dan rumah di Manado (Daerah Titiwungen) yang dipergunakan sebagai asrama PIKAT yang bernama Huize Of Maria atau Wisma Maria.

Mata pelajaran di Huishoudschool yang dibangun oleh PIKAT terus berkembang dan semakin maju (Adanya kursus-kursus tambahan di luar jam sekolah). Selain itu PIKAT juga memperkerjakan guru-guru yang berkompeten dalam bidangnya. Kursus-kursus yang diselenggarakan ini akan memberikan sertifikat keahlian yang nantinya bisa dipakai untuk melamar kerja. 2 tahun lamanya sejak PIKAT didirikan, akhirnya pada tanggal 16 Juni 1919 PIKAT dan sekolahnya mendapat pengakuan hukum dari pemerintah.

Di tahun 1926, PIKAT membeli tanah di Sario yang kemudian dibangun gedung PIKAT. Selanjutnya, di tahun 1932, organisasi PIKAT mendirikan Opleiding School Voor Vak Onderwijs Zeressen, yakni Sekolah Guru Putri Kejuruan. Sekolah ini merupakan sekolah lanjutan dari Huishoudschool. Keyakinan Maria, bahwa perempuan juga mampu mengikuti pendidikan yang lebih tinggi seperti kaum laki-laki.

Tidak hanya di dunia pendidikan, Maria juga memperjuangkan kaum perempuan agar diberikan suara dalam urusan kenegaraan dan posisi atau tempat di Dewan Kota. Beliau banyak menulis artikel yang dimuat di media koran lokal tentang Vrouwenkiesrecht, yakni hak pilih perempuan dan hak dipilih untuk perempuan. Usahanya ini tidak sia-sia. Pada tahun 1921, datang keputusan yang baik dari Batavia yakni memperbolehkan perempuan memberi suara dalam pemilihan anggota Minahasa Raad (Dewan Minahasa).

Maria meninggal pada tanggal 22 April 1924. Beliau dimakamkan di desa Maumbi, Minahasa Utara. Makamnya terletak tepat dipinggir jalan Manado-Bitung yang hingga kini masih sangat terawat. Di dalam kompleks pemakamannya, terdapat juga makam suami tercinta Maria yang letaknya tepat disebelah makam beliau. Di depan kedua makam ini berdiri sebuah monumen Madame Maria Walanda yang diresmikan pada tanggal 8 Maret 1987 oleh Gubernur Sulawesi Utara, C.J. Rantung.
Hasil dari cita-cita Maria Walanda Maramis tidak pernah mati bahkan ketika beliau telah berpulang. Organisasi PIKAT terus berkembang dengan pesat. Bahkan pada tahun 1930-an, perempuan diberi kesempatan untuk duduk dalam Locale Raden atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

<b>Maria Walanda Maramis…. Pahlawan Emansipasi Wanita Asal Minahasa</b>

Atas perjuangan Maria Walanda Maramis dalam menyamakan hak perempuan dengan laki-laki dan perjuangannya di bidang pendidikan serta politik, pada tanggal 20 Mei 1969, Maria Walanda Maramis dinobatkan sebagai pahlawan pergerakan nasional melalui SK Presiden RI No.012/TK/1969. Maria Walanda Maramis benar-benar berjasa bagi bangsa Indonesia saat ini. Hasil perjuangannya dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan bersama kaum perempuan atau tokoh-tokoh lainnya sekarang ini dapat dinikmati oleh setiap wanita Indonesia dari berbagai penjuru di Nusantara.

<b>Maria Walanda Maramis…. Pahlawan Emansipasi Wanita Asal Minahasa</b>