Share

“Bulu Kenabian”…. Kyai Haji Hasan Maulani/Eyang Lengkong

<b>"Bulu Kenabian".... Kyai Haji Hasan Maulani/Eyang Lengkong</b>

Makam Kyai Haji Hasan Maulani / Eyang Lengkong / Eyang Manado

Berziarah ke makam Kyai Mojo di Tondano, Sulawesi Utara kita sekaligus dapat berziarah ke makam beberapa Kyai lainnya yang terdapat dalam satu area pemakaman yang sama dengan Kyai Mojo. Diantaranya ialah makam Kyai Haji Hasan Maulani yang berasal dari desa Lengkong kecamatan Garawangi kabupaten Kuningan Jawa Barat.

Kyai Haji Hasan Maulani dilahirkan pada tahun 1779. Sejak kecil ia dikenal memiliki sifat-sifat yang baik dan taat beribadah. Ketika Hasan Maulani lahir, Panembahan Dako (Seorang Kyai) menyebutkan bahwa Hasan Maulani memiliki ‘bulu kenabian’ yang berarti nantinya anak ini akan menjadi orang yang besar bagi agama dan masyarakat. Beliau merupakan salah satu dari keturunan wali songo yaitu Sunan Gunung Jati yang adalah penyebar agama Islam di pulau jawa.

Setelah mempelajari agama Islam di beberapa pesantren, Hasan Maulani kembali ke desa Lengkong yakni tempat kelahirannya. Disini beliau menjadi penerus kepemimpinan (1842-1874) di pesantren yang telah didirikan oleh Syekh Muhammad Dako (Panembahan Dako) yang tidak lain adalah seorang panatagama utusan dari kesultanan Cirebon (Akhir abad 18). Pesantren ini berkembang pesat di masa kepemimpinan beliau. Banyak orang yang datang dan ingin menjadi santri tempat ini tidak dapat menampungnya. Jumlah orang yang terus berdatangan mengundang kecurigaan oleh pemerintah Belanda yang baru saja selesai menghadapi perang Diponegoro. Selain itu, kehadiran Hasan Maulani telah mengusik para toko dah jawara setempat kemudian mereka menggangu beliau secara spiritual yang kemudian juga melalui fitnah. Pengaruh Hasan Maulani yang semakin besar di kalangan masyarakat bahkan para pemimpin pribumi menjadikan alasan bagi Residen Priangan (Antek-antek Belanda) untuk menangkap beliau. Alasannya sederhana, rakyat lebih patuh kepada Hasan Maulani daripada Bupati Kuningan.

Kyai Haji Hasan Maulani atau yang dikenal dengan Eyang Lengkong (Di daerah asalnya dikenal dengan eyang Menado) diasingkan oleh pemerintah Belanda ke Tondano melalui surat keputusan tertanggal 6 Juni 1842 dengan status sebagai tahanan negara. Mulanya beliau dibawa oleh pemerintah Belanda untuk dimintai keterangan namun pada kenyataannya beliau ditahan di Cirebon. Dalam masa tahanan di Cirebon, tidak sedikit dari para murid, santri dan masyarakat umum datang setiap hari untuk menjenguk Kyai Haji Hasan Maulani sehingga membuat pemerintah Belanda kewalahan. Hal ini membuat pemerintah Belanda mengambil keputusan untuk memindahkan Kyai Haji Hasan Maulani ke Batavia. Namun dengan pemindahan ke Batavia tidak membuat para murid dan santri yang menjenguk berkurang, justru sebaliknya. Melihat keadaan yang seperti ini semakin membuat pemerintah Belanda khawatir. Dan akhirnya setelah 9 bulan di Batavia, Kyai Haji Hasan Maulani di bawa ke Ternate. Dari Ternate, beliau dipindahkan ke daerah Minahasa yaitu Kema kemudian dipindahkan lagi ke Tondano.

Selama di Tondano dalam masa pengasingan Kyai Haji Hasan Maulani tinggal di Kampung Jawa bersama dengan para pasukan Kyai Mojo. Disana beliau aktif mengajar tentang agama Islam. Ajarannya yang mudah dimengerti dan perhatiannya terhadap pembangunan pertanian dan perikanan membuatnya semakin terkenal.
Beberapa kali keempat putranya mengajukan permohonan kepada pemerintah Belanda agar Kyai Haji Hasan Maulani dipulangkan ke Jawa, namun pemerintah Belanda selalu menolak. Beliau dianggap tetap berbahaya karena pengaruhnya yang tetap kuat walaupun beliau sudah diasingkan cukup lama di luar Jawa. Kyai Haji Hasan Maulani meninggal pada tanggal 29 April 1874 pada usia 92 tahun dalam pengasingan di Tondano.